Pencalegan 2014 Kota Bekasi: Kapasitas, Elektabilitas dan Isi Tas

Oleh : Didit Susilo; Direktur Bekasi Parliamentary Center

kandidat-kandidat.com, Senin 1 April 2013, 19:02 WIB, DikRizal


Didit Susilo, Direktur Bekasi Parliamentary Center (Foto:PrivCollect)


BEKASI, bksOL - PADA bulan April-Mei 2013 mendatang ke 12 parpol di Kota Bekasi akan menyetorkan daftar calon lesgislatif (caleg) yang sudah diseleksi parpol ke KPU. KPU akan mengumumkan usulan sekitar 600 caleg masuk daftar calon sementara (DCS) dan ditetapkan menjadi daftar calon tetap (DCT) untuk bertarung memperebutkan kuota 50 kursi DPRD.

Beragamnya caleg yang bertarung faktor kapasitas, elektabilitas dan isi tas nampaknya menjadi domain utama jika ingin lolos dengan suara terbanyak.

Hampir semua parpol akan memenuhi jatah kuota caleg 100 % yang harus diisi 30 % caleg perempuan. Dari 6 Daerah Pemilihan (Dapil) yang akan maju merupakan para incumbent yang sudah duduk di kursi DPRD kecuali caleg dari parpol PDS yang pindah partai.

Dengan kompetisi yang sangat ketat dan hampir semua parpol di Kota Bekasi menjadi partai tengah (tidak menonjol) pertarungan akan makin sengit untuk memperebutkan vote getter.

Di tengah fenomena golput di Kota Bekasi 50% dari total pemilih, diperlukan berbagai cara agar menang. Faktor yang tidak bisa dipungkiri untuk merebut konstituen yaitu fanansial atau isi tas selain faktor kapasitas dan elektabilitas.

Jika caleg sudah mengantongi kasitas, popularitas secara otomatis elektabilitas akan naik. Dukungan isi tas tinggal menyesuaikan dengan capaian target suara.

Namun, jika caleg baru dan belum memiliki popularitas maka isi tas yang akan menentukan cara-cara merebut suara dengan politik sembako, kampanye stiker/baliho dan merayu calon pemilih dengan berbagai cara.

Untuk itu masyarakat harus mewaspadai rekam jejak caleg, bermasalah atau tidak. Caleg yang pernah terjerat kasus hukum, asusila, narkoba dan korupsi setidaknya harus dihukum secara politik meski menawarkan materi.

Caleg yang lolos dan menjadi DCT (daftar caleg tetap) oleh KPU berarti lolos seleksi administratif. Namun, bukan berarti lolos norma moral sesuai rekam jejaknya dan layak dipilih. Untuk itu dalam Pileg (pemilihan legislatif) masyarakat juga teliti dalam memilih. Bukan atas dasar petimbangan materi, harus kritis memilih wakil rakyat berdasarkan kompetensi dan kapabilitas.

POLITIK ‘ISI TAS’

Isi tas atau fulus setikanya akan berkuasa di Pemilu 2014. Bahkan kali ini jauh akan lebih berperan dibanding dengan kekuasaan serupa yang diperlihatkannya di Pemilu 2009.

Pertarungan perebutan kursi parlemen dengan melibatkan kekuasaan uang di setiap tingkatan di Pemilu 2014, dimungkinkan akan semakin besar setelah UU No. 08 Tahun 2012 tentang Pemilu sebagai perubahan atas UU No 10 Tahun 2008, disahkan oleh DPR RI.

Undang-undang yang dibahas nyaris dua tahun itu tak bisa dipungkiri telah memberikan peluang besar kepada partai politik (Parpol) dan calon anggota legislatif (Caleg) untuk menggelontorkan dananya di Pemilu 2014 mendatang.

Mari kita pelajari Pasal 131 Ayat 2 yang menyebutkan dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan / atau badan usaha non pemerintah tidak boleh lebih dari Rp7.500.000.000,- (Tujuh Miliar Lima Ratus Juta Rupiah). Jumlah itu naik Rp2,5 miliar dari aturan di Pemilu 2009 yang hanya mengizinkan maksimal jumlah sumbangan sebesar Rp5 miliar. Untuk sumbangan perorangan tak berubah dengan maksimal sumbangan Rp1 miliar per orang.

Kegiatan kampanye adalah salah satu tahapan Pemilu yang krusial. Sebab pada tahapan inilah kesempatan untuk menarik dukungan pemilih jelang hari pemilihan dilakukan. Baik Parpol maupun Caleg berlomba untuk memasarkan diri dengan harapan lebih banyak lagi suara yang bisa diraih. Pertarungan memperebutkan pemilih terutama yang belum memastikan pilihannya berlangsung keras dalam tahapan ini. Tentu hukum pasar berlaku.

Jika yang ditawarkan sedikit, maka pasti harga akan naik. Perebutan suara di injury time itu dengan persediaan yang sedikit, membuat Parpol dan Caleg harus melakukan segala cara untuk merebutnya. Harga suara semakin mahal dan Parpol tak punya pilihan lain kecuali membayarnya dengan lebih mahal. Perlu dana besar untuk memikat pemilih dengan memasang berbagai alat peraga kampanye mulai dari baliho hingga spanduk serta berbagai sarana kampanye lain. Parpol-parpol yang tak punya persediaan dana besar untuk melakukannya, akan termakan oleh Parpol dengan kemampuan finansial yang tak berbatas.

Tapi yang terjadi kemudian ada banyak kekecewaan yang muncul. Undang-undang baru itu sama sekali tak punya keinginan untuk menahan serangan uang di Pemilu 2014 seperti di Pemilu 2009.

Bahkan kini makin memberikan peluang untuk semakin berkuasanya uang di perhelatan demokrasi itu. Peningkatan jumlah batas maksimun sumbangan kelompok dari Rp 5 miliar menjadi Rp 7,5 miliar adalah salah satu indikasinya.

Dalam praktiknya meski pun sudah dibatasi, tapi sebenarnya gelontoran uang untuk Parpol itu bisa tak berbatas. Pasalnya, ada banyak cara yang dilakukan Parpol untuk berkelit dari aturan batas maksimun sumbangan itu. Modusnya bisa dengan membagi sumbangan dengan memecahnya ke dalam bagian kecil kelompok penyumbang padahal sebenarnya sumber dananya berasal dari satu kelompok.

Meski, untuk pencalegan di Kota Bekasi jarang disumbang sesuai dengan maksud UU No.8/2012 itu termasuk dari parpol pengusungnya.

Tetap saja caleg akan merogoh ‘isi tas’ sendiri untuk meraih suara. Dengan jumlah pemilih rata-rata per Dapil diatas 150 ribu jelas modal itu cukup besar. Dari persiapan pencalegkan, biaya saksi, baliho, stiker, akomodasi termasuk ‘rokok, kopi politik’ diperlukan kisaran dana Rp 300 hingga Rp 800 juta. Dengan modal besar juga belum menjadi jaminan akan menang karena hampir semua caleg menawarkan pola sama. [■]

NaraSumber: DiditSusilo, Editor: DikRizal

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama